Aku tak tahu kenapa dan aku sudah tidak peduli lagi. Dia, Nathan,
teman sekelasku yang berandalan, entah kenapa dia selalu menatapku tajam dan
seolah-olah ingin membunuhku. Bukan hanya sekali, tapi setiap kami bertemu atau
berada di ruangan yang sama, ck…. Aku menyadari ini ketika kami pernah duduk
satu bangku. Sempat aku merasa jengah dan risih, tak sanggup lagi membiarkan
tatapan mengerikannya itu ke arahku, sehingga aku menanyakan alasan kenapa dia
menatapku seperti itu, apa aku punya salah padanya. Ohh, tapi dia malah
menjawab dengan cueknya, “tidak. Memangnya
aku menatapmu seperti itu?” Oh, Tuhan, rasanya ingin sekali kucekik cowok
yang selalu berantakan itu.
Well, lebih baik aku fokus pada langkah kakiku sekarang. Tak usah
memikirkan bocah tengik yang tak tahu asal usulnya, bisa-bisa aku malah kesasar
saat berjalan menuju ke rumah. Aku terus berjalan dan berjalan, melangkahkan
kakiku lambat-lambat dan kecil di jalan setapak yang kulalui. Haa…entah kenapa,
rasanya aku tak ingin pulang ke rumah begitu cepat. Aku merasa, baik di
sekolah, di rumah, atau di mana pun aku berada, tak ada seorang pun yang
memperhatikanku, mengertiku, dan menerima aku apa adanya. Aku merasa, aku
sendiri di dunia keji ini, tak ada yang ingin mengerti rapuhnya aku yang
terbalut tubuh kuat ini. Makanya, aku ingin sekali ada tempat di mana hanya ada
aku sendiri tanpa ada satu pun orang yang kukenal. Daripada bersama orang yang
kukenal dan kusayangi? Tidak, aku terlalu sakit bila mengingat bahwa mereka tak
punya perasaan sayang padaku.
Orang tua dan saudara? Heh, tidak selamanya orang tua dan saudara
itu mampu mengerti kita. Aku menyayangi mereka, dan aku tahu mereka juga
menyayangiku. Tapi,…aku tidak suka pada mereka, apalagi pada orang tuaku sendiri.
Kenapa? Aku tidak suka di saat mereka menuntutku lebih baik dan lebih baik
lagi, membandingkanku dengan anak lain, tidak menerima bahwa inilah aku dan
hanya seginilah batasku. Aku sangat benci itu.
Teman? Hahaha… Teman bagiku adalah seorang parasit tak ber-otak yang
akan membuang kita kapan saja di saat kita tak bermanfaat lagi baginya. Yeah,
intinya, aku tak percaya sama hal konyol seperti ‘teman’. Bodoh sekali
orang-orang yang percaya adanya ‘teman’. Apa hebatnya mempunyai seorang ‘teman’
bila hanya ingin diperalat? Hiduplah berdasarkan realita, bukan imajinasi.
Langkah kakiku terhenti sejenak, kulihat sekeliling. ‘Taman kota?’ batinku bertanya.
Ternyata, aku terlalu banyak melamunkan hal tak penting yang membuat kepalaku
semakin pusing serta hatiku yang semakin sesak. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung saja menuju
ke tempat tiga ayunan yang berjejer berada. Aku duduk di salah satu ayunan
tersebut sambil berdendang kecil. Berayun-ayun dengan kepala yang tertunduk.
Yah, aku tak mau ambil resiko ada seseorang—siapa pun itu, yang melihatku dalam
kondisi menyedihkan ini. Tidak, harga diriku terlalu tinggi untuk ini.
Tapi, yah…itu hanya sebuah harapan, karena ternyata, tiba-tiba ada
seseorang yang melihatku begini. “Kenapa kamu?” tanyanya. Aku terlonjak kaget
dibuatnya, tapi aku dapat menormalkan jantungku, cepat. “Bukan urusanmu,”
desisku sinis sambil mendongakan kepalaku ke orang yang dengan lancang melihat
keadaanku yang sekarang.
Mataku terbelalak kaget, ‘Na-nathan?’
Kulihat ia mendudukan diri di sebuah ayunan yang ada di sampingku. Ia
berayun-ayun kecil, “jika ingin tertawa ya tertawalah, jika ingin marah ya
marah saja, dan jika ingin menangis ya menangis. Jangan bersikap bodoh seperti
ini,” katanya santai. Aku memandang Nathan dengan amarah yang menggebu. ‘Apa-apaan dia?’
“Tak usah sok bijak! Kau mau mengomentariku juga?” kataku ketus.
“Inilah aku, ada masalah?” tanyaku padanya. Ia hanya menggelengkan kepalanya.
“Tidak, kupikir tidak ada yang salah darimu. Hanya saja aku tak suka denganmu,”
jawabnya tanpa menatapku sedikit pun. Uh, tidak sopan!
“Apa, hah? Kenapa kau membenciku? Aku tidak pernah buat masalah
denganmu!” kataku ketus. Emosiku sudah meledak, tak bisa kutahan lagi. Nathan
memandang ke arahku tajam, membuat aku takut dan merinding seketika. “Siapa
bilang aku membencimu?” tanyanya dengan senyuman mengejek. Aku memandangnya tak
mengerti. “…Yah, aku memang tak suka
padamu, tapi bukan berarti aku membencimu, Di.” Aku menggaruk pipiku, kata-kata
Nathan terlalu sulit kucerna.
Ia memandang ke langit sambil terus berayun kecil. “Asal tahu saja,
aku akan jujur sekarang,” katanya yang membuatku penasaran dan langsung
memandangnya lekat, entah ke mana amarahku tadi. “..Di, aku memandangmu tajam
bukan karena kau punya salah padaku, tapi karena aku selalu heran dengan sikap ‘defense’-mu. Aku tak suka denganmu
bukan karena sifat burukmu, tapi karena aku benci pikiranmu yang merasa kaulah
orang yang paling menderita di dunia ini,” katanya santai, “yah, cuma itu.
Selebihnya, aku menyukaimu. Kau orang baik, walau kau tak suka berteman tapi
menurutku, kau orang yang cocok diajak berteman siapa saja,” lanjutnya dengan
senyum tulus.
Aku terkejut, lidahku terasa kelu. Aku memandangnya tak percaya.
Tiba-tiba, tangan Nathan mengacak-acak rambutku. “Ya sudah, ya. Aku duluan,”
katanya hendak pergi dari taman ini, membuatku tersadar dari rasa tak
percayaku. Aku pun cepat-cepat langsung menyusul Nathan sebelum dia jauh,
“Nate, tunggu! Kita pulang sama-sama, ya!” teriakku padanya. Yah, untuk kali
ini saja, hanya untuk kali ini…bolehkah bahwa aku, seorang Dion yang bodoh ini
berharap kalau akhirnya menemukan seseorang yang bisa mengerti dan menerimaku
apa adanya? Seorang sahabat dalam diri seorang Nathan? Aku harap, aku boleh.
.TAMAT.
Geli cuy.
BalasHapusternyata...........