Kulihat kau di sana, duduk berkelompok bersama teman-temanmu yang
lain. Kadang kau tersenyum, tertawa, jengkel, dan kadang kau pun marah pada
mereka. Aku tak bisa menyembunyikan senyum geliku melihat tingkahmu. Kau selalu
bertingkah seolah-olah tak memiliki beban hidup. Di satu sisi aku menyukai hal
itu, tapi di sisi lain aku iri akan hal itu.
Hari ini, lagi dan lagi, aku kembali mengamatimu dari belakangmu.
Berpura-pura duduk di bawah pohon—yang entah apa namanya— sendirian, hanya
untuk mengamatimu yang tak akan pernah menyadari keberadaanku. Aku bukan
penguntit, juga bukan salah satu dari penggemar fanatikmu. Aku bukan
siapa-siapa, aku hanya seorang gadis penyendiri yang kagum akan sikapmu. Bukan
hanya kagum, tapi aku juga iri padamu. Kau, bagaikan matahari yang menyinari
semua orang di sekelilingmu, membawa energi positif yang menenangkan, sedangkan
aku? Haha, aku hanyalah seorang yang suram yang susah untuk bergaul. Kita berdua
ini bagaikan langit dan bumi, kalau kubilang.
“Ni- Nico, aku suka padamu. Ma—“
“Thanks, ya. Tapi, sorry kita jadi temen aja. Aku nggak
mau pacaran dulu.”
Kali
ini aku melihatmu ‘ditembak’ seorang cewek lagi—entah untuk yang keberapa
kalinya. Kau begitu populer, ya? Tapi, aku bingung, selama aku mengamatimu, aku
tak pernah melihatmu menerima satu pun cewek yang berani ‘menembak’-mu. Kau
selalu menolak mereka dengan kata-kata yang sama. Ada apa denganmu? Padahal kau
bisa dengan gampang memilih cewek yang ingin kau jadikan pacar, tapi kenapa kau
malah tak mau berpacaran dulu? Ohh, entahlah, tetapi sepertinya aku tak perlu
tahu. Karena aku cuma pengagum rahasiamu—tolong jangan berpikiran negatif
tentang ini.
Kali ini, aku tak punya waktu
untuk mengamatimu. Sedikit kecewa memang, tapi tugasku sebagai seorang Ketua
Kelas kelasku harus kujalani. Aku berjalan dengan langkah lebar menuju ruang
guru untuk mengumpulkan tugas teman-teman. Namun, saat aku hendak berjalan
lurus ke depan menuju ruang guru, mataku menangkap kau sedang bersender di
dinding lorong menuju tempat parkir. Aku pun segera berhenti, menyembunyikan
diriku untuk dapat mengamati apa yang terjadi padamu. Kulihat kau menerawang
jauh, sedikit air mata—yang sepertinya kau bendung mulai keluar perlahan.
Mataku terbelalak kaget, ingin
sekali kuhampiri kau yang menangis dalam diam. Memberimu sapu tangan,
menghiburmu, dan menyemangatimu. Tapi entahlah, kakiku memang bergerak ke
arahmu, tanganku juga memberikanmu sapu tangan, tapi lain dengan mulutku yang
tak sejalan ini.
“Untukmu,” kataku sambil memberimu
sebuah sapu tangan putih milikku. Kulihat kau terbelalak kaget akan kehadiranku
yang memergokimu. “Tenang saja, aku tak akan memberi tahu hal ini pada siapa
pun,” kataku datar, “dan, aku tahu kau cowok. Tapi, jika kau menangis lebih
baik menangis, jangan ditahan. Menangis dalam diam itu… kurang, menurutku,”
lanjutku. Ia hanya mengangguk kecil dengan senyum sambil mengelap matanya yang
mulai menitikan sedikit air mata tadi. Aku membalas anggukannya dan berniat
pergi untuk melanjutkan kegiatanku yang tertunda, diiringi dengan ucapan
“terima kasih” darinya.
Yah, semenjak kejadian di hari
itu tak ada yang berubah. Dia berkumpul dan bersenda gurau dengan
teman-temannya dengan aku yang selalu mengamatinya dari belakang. Sapu tanganku
memang sempat dikembalikannya, tapi hal itu tak mengubah keadaan kami. Aku dan
dia memang bagaikan langit dan bumi. Dan bagiku, untuk melihatnya bahagia dari
belakang saja dan tidak melihat kesedihannya seperti hari itu, sudah lebih dari
cukup.
.TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar